
Jakarta, Gatra.com - Wakil Sekretaris Jendral DPP Partai Hanura, Wahab Talaohu mengatakan Wiranto merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Hanura memenuhi syarat 4% suara dalam Parliamentary Threshold. Menurutnya terdapat beberapa alasan fundamental mengapa Wiranto pantas untuk disalahkan.
Ia berujar Wiranto sangat pragmatis dan oportunis ketika melakukan transisi kepemimpinan Hanura ke Oesman Sapta Odang (OSO). Terutama untuk mendapatkan kursi di pemerintahan Jokowi-JK pada periode 2014-2019.
“Hanura menjadi seperti ini karena semata-mata demi memenuhi ambisi pribadinya untuk menjadi Menteri di Kabinet Jokowi. Dimana seorang Menteri tidak boleh rangkap jabatan,” ujarnya saat dikonfirmasi gatra.net melalui sambungan telepon pada hari Jumat (17/5).
Wahab menjelaskan Wiranto menyerahkan setumpuk pekerjaan rumah kepada OSO. Apalagi saat Hanura diambang kehancuran karena tidak memiliki manajemen, struktur kepengurusan dan pengkaderan.
“Yang jelas di tangan Wiranto, Hanura nyaris menjadi partai yang gagal memenuhi standart verifikasi partai dari KPU RI,” imbuhnya.
Selama Wiranto memimpin, Wahab memaparkan muncul benih-benih perpecahan di internal dan menemukan titik klimaksnya pada masa kepemimpinan OSO.
“Wiranto seperti sengaja meninggalkan benih konflik di internal Hanura. Namun OSO mampu meredam gejolak perpecahan tersebut. OSO muncul dan mampu merangkul semua pihak sehingga Hanura tetap Solid,” tukasnya.
Wahab melanjutkan bahwa Wiranto adalah faktor determinan merosotnya elektoral Hanura. Stereotip negatif pada diri Wiranto justru menjadi beban bagi kabinet Jokowi. Selain itu, juga berimbas pada menurunya elektoral Hanura.
“Karena publik selalu mengasosiasikan Wiranto dengan Hanura yang mana memiliki beban masa lalu serta kinerja yang buruk di pemerintahan,” katanya.
Ia menuding Wiranto adalah biang keladi kegagalan Hanura. Wiranto menciptakan gesekan internal dan turunnya elektoral Hanura. Menurutnya Wiranto separuh hati dalam melakukan transisi ketua partai ke OSO. Selain itu, jenderal TNI ini juga terstigma sebagai pelangar HAM berat.
“Sehingga semua itu terakumulasi menjadi kekecewaan publik. Ketika publik kecewa pada Wiranto, justru Hanura yang terkena getahnya,” tutupnya.