
Bantul, gatra.net – Industri jasa digital Indonesia dinilai memiliki potensi besar dalam mendulang devisa ekspor. Namun potensi ini terkendala jaringan pasar luar negeri dan manajemen pendampingan. Pemerintah dan pelaku sepakat untuk mencari solusinya.
Kondisi ini disampaikan Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan (Kemendag) Marolop Nainggolan di diskusi ‘Jualan Digital ke Luar Negeri’ di kantor Privyid, Bantul, Kamis (16/5) petang.
“Bank Indonesia menyatakan pada 2017 sektor jasa memberi kontribusi sebesar 43,63 persen dan akhir tahun lalu meningkat hingga menembus angka 59 persen dari total produk domestik bruto,” jelas Manolop.
Sektor jasa itu disumbang industri jasa digital, meliputi desain, game, program, dan aplikasi yang tumbuh pesat. Namun sayangnya pemerintah belum memiliki kebijakan yang tepat untuk mengembangkan pasar luar negeri.
Padahal jika menilik perkembangan perdagangan dunia, komoditas industri jasa digital berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Potensinya pun sangat besar.
“Pemerintah kesulitan mengidentifikasi siapa-siapa saja pelaku industri jasa digital ini. Sebab pelaku industri ini lebih banyak bekerja individu dan berhubungan langsung dengan pembeli lewat jaringan,” jelasnya.
Karena itu, pemerintah bersama Asosiasi Digital Kreatif (Aditif) coba melakukan pemetaan dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh pelaku industri jasa digital ini dalam mengarap pasar luar negeri.
Marolop memastikan, pemerintah mendukung para pelaku industri digital dalam mengarap pasar luar negeri dengan memberi pendampingan dan membantu proses negosiasi.
“Jika lewat online, tingkat kepercayaan ke pembeli bisa disangsikan. Di sisi itulah pemerintah turun tangan, yaitu mempertemukan langsung pembeli dengan pelaku dan memastikan kontrak berjalan sesuai keinginan kedua pihak,” ujarnya.
Kendala ini juga diakui Ketua Hubungan Eksternal Aditif Indra Haryadi. Bukan hanya jaringan dan manajemen, soal modal juga dikeluhkan pelaku bisnis jasa digital.
“Dari survei kami pada 2017 lalu, sebanyak 35 persen pelaku bisnis ini mengeluhkan permodalan dan jaringan bisnis. Kami ingin pemerintah turun tangan,” katanya.
Indra menyatakan bisnis jasa digital memang perlu modal besar agar bisa memenuhi keinginan pasar luar negeri. Contohnya Privyid yang akan menggarap pasar Australia membutuhkan modal Rp30 miliar untuk memenuhi kualifikasi dan persyaratan.
Indra melihat, sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk akademisi, akan membuat Indonesia memiliki produk berbasis intelectual property yang mampu bersaing dengan karya negara maju.
Di acara ini, CEO Privyid Marshal Pribadi menyatakan tantangan terbesar pelaku bisnis jasa digital adalah peraturan-peraturan yang diterapkan negara tujuan ekspor.
“Dalam bisnis ini, kendala yang dihadapi selalu berubah. Jika jaringan pasar dan manajemen sudah terbentuk, maka pemerintah harus membantu kami untuk mengatasi jegalan-jegalan yang dibuat oleh negara pembeli,” katanya.
Privyid bergerak dalam jasa pembuatan tanda tangan digital. Marshal menyatakan, perusahaannya menggarap Australian sebagai pasar pertama ekspor pad September 2019. Pembayaran jasa yang lebih tinggi menjadi daya tarik utama mereka menggarap pasar luar negeri.