
Jakarta, gatra.net - Alih fungsi lahan milik rakyat yang berubah menjadi area perkebunan milik pemerintah menjadi pemicu perlawanan rakyat untuk menuntut haknya.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Amiruddin, respon yang diberikan oleh masyarakat untuk menuntut hak pengembalian lahan mereka memicu pengaduan kepada pengadilan yang dilakukan oleh masyarakat.
"Setelah masuk ke pengadilan, terjadi diskriminasi hukum. Gugatan rakyat ke pengadilan prosesnya dibuat lama," ujarnya dalam diskusi Penyelesaian Konflik Pertanahan Dalam Perspektif HAM di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (14/5).
Ia juga menyayangkan tindakan aparat hukum yang melakukan kekerasan di lapangan dalam menangani konflik tersebut. Ia menyebut aparat hukum dan juga preman yang melakukan kekerasan dikerahkan oleh pihak korporasi untuk meredam perlawanan rakyat.
"Akhirnya ini bukan lagi soal tuntutan hak tanah, tapi aparat yang melakukan kekerasan kepada rakyat atau bisa menjadi rakyat yang melawan aparat," jelasnya
Menurutnya, diperlukan penataan regulasi untuk mengatasi hal tersebut. Ada kebutuhan yang diperlukan demi penataan tentang izin terkait hal ini. Izin ini nantinya memberikan otoritas kepada sebuah lembaga yang jika terjadi sesuatu maka yang memberi izin harus tanggung jawab bukan lepas tangan.
"Perlu ada jaminan kepada masyarakat, jika sebelumnya mereka diintimidasi bagaimana masalah ini akan diselesaikan. Jika instansi terkait lepas tangan, maka presiden harus turun tangan. Sehingga masyarakat terpulihkan haknya," terangnya.
Sejalan dengan Amiruddin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan, reforma agraria diterjemahkan hanya dengan memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat secara umum. Bukan kepada masyarakat adat atau daerah. Hal ini menjadi penyebab tidak selesainya konflik agraria dan tidak tuntasnya pengembalian hak kepada masyarakat.
"Sistem ekonomi politik agraria kita kapitalis dan liberal. Makanya tidak selesai, bahkan memarginalkan masyarakat sendiri. Penyelesaian konflik agraria itu ada masalah yang genting, yaitu sektoralisme, tumpang tindih dan kontradiksi regulasi," tambahnya.