.jpg)
.jpg)
GATRAreview.com - Sudah belasan tahun Kasman menjadi pedagang ikan keliling. Pria berusia 45 tahun ini mengandalkan sepeda motornya untuk menjajakan ikan dari satu kampung ke kampung lain di Kecamatan Patuk, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Uniknya, di belakang sepeda motornya terdapat kontainer mini yang dilengkapi sistem pendingin layaknya kulkas.
Kontainer pendingin mini bertenaga batere itu digunakan Kasman untuk menyimpan ikan dagangannya agar tetap segar hingga ke tangan konsumen. Berkat kontainer pendingin mini, Kasman mengungkapkan, ia bisa menyimpan ikan hingga tiga hari. Walaupun disimpan berhari-hari, ikan tetap segar. “Setelah menggunakan alat ini, pembelinya tambah mantap. Bahkan, mereka ada yang pesan 20 kilo tuna,” kata Kasman, semringah.
Sebelum menggunakan kontainer pendingin mini, Kasman menyimpan ikan di kontainer yang materialnya terbuat dari stirofoam. Agar ikan tetap segar, kontainer diberi bongkahan batu es. Namun boks boks stirofoam tidak memenuhi standar higienis. Seringkali kotoran menempel di bagian dinding. Akibatnya, ikan yang disimpan rentan tercemar bakteri. Kesegaran ikan juga hanya mampu bertahan beberapa jam. Semua sisi lemah boks stirofoam itu kini terpecahkan oleh kontainer pendingin mini.
Kontainer pendingin mini yang kini menjadi andalan Kasman itu dikenal dengan sebutan Altis-2, singkatan dari Alat Transportasi Segar untuk Kendaraan Roda Dua. Alat yang bertujuan membantu para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
Kontainer pendingin mini yang kini menjadi andalan Kasman itu dikenal dengan sebutan Altis-2, singkatan dari Alat Transportasi Segar untuk Kendaraan Roda Dua. Alat yang bertujuan membantu para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor perikanan ini merupakan hasil inovasi teknologi dari Balai Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Altis-2 dimanfaatkan untuk pengusaha kelas menengah ke bawah atau UMKM,” kata Kepala LRMPHP, KKP Lutfi Assadad, kepada M. Egi Fadliansyah dari GATRA.
Bagian luar Altis-2 dibuat dari bahan pelat aluminium. Sedangkan bagian dalamnya dilapisi dinding insulasi yang dibuat dari bahan polyurethane. Fungsinya sebagai peredam panas. Altis-2 juga dilengkapi sistem pendingin termoelektrik (TEC). Tujuannya, untuk menjaga suhu agar tetap dingin sehingga kondisi suhu ikan tetap rendah. “Mutu ikan menjadi lebih terjaga, dan konsumen akan lebih tertarik karena terlihat bersih dan higienis,” Lutfi menguraikan.
Prinsip kerja sistem pendingin Altis-2 adalah memanfaatkan terjadinya perbedaan suhu antara sisi panas dan sisi dingin peltier ketika dialiri arus listrik searah (DC). Bagian sisi dingin elemen peltier digunakan untuk menyerap panas ruang penyimpanan, kemudian dilepas ke lingkungan oleh elemen peltier sisi panas. “Sehingga suhu ruang penyimpanan ikan menjadi rendah,” Lutfi menambahkan.
Kontainar berdua sisi dengan kapasitas tampung 60 kilogram ikan ini dianugerahi gelar sebagai salah satu inovasi paling prospektif oleh LRMPHP pada 2016. Altis 2 juga meraih penghargaan sebagai inovasi terekomendasi dari KKP pada 2016. Keunggulan alat ini di antaranya mampu mempertahankan suhu ikan di bawah 5ºC selama dibawa berkeliling.
Kepala Pusat Riset Perikanan KKP, Tony Ruchimat, mengakui bahwa saat ini jumlah inovasi alat-alat perikanan yang dihasilkan di dalam negeri masih sangat kurang. Untuk mengakali kekurangan itu, biasanya opsi imporlah yang dipilih. Karena itu, Altis 2 diharapkan bisa menjawab solusi peralatan perikanan yang minim. Juga dapat diproduksi secara komersial dengan mengandeng pihak swasta. “Agar swasta dapat memproduksi alat kita (Altis 2) secara masif. Jadi alat perikanan ke depannya akan lebih murah dan efektif dalam pengeoperasiannya,” ujar Tony.
Sehingga, Tony melanjutkan, riset ke depannya harus mengembangkan alat mesin perikanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Riset juga harus bisa menjawab kebutuhan unit-unit tugas di KKP. Misalnya, perikanan tangkap dan perikanan budi daya. “Mereka punya program-program meningkatkan budi daya. Jadi, kita bisa mendukung dari sisi teknologi, yang ujungnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” ucap Tony.
Altis-2 sudah diuji coba di Bantul dan Pacitan, Jawa Timur. Sedangkan, tahun ini uji coba penggunaanya akan dilaksanakan di Cirebon, Jawa Barat, dan Pekalongan, Jawa Tengah. Sehingga, LRMPHP di Bantul akan menjadi bengkel teknologi perikanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun kendalanya, bengkel LRMPHP masih terbatas, karena hanya di Bantul. Selain itu, anggaran dan sumber daya manusianya terbatas. “Intinya kita ingin mandiri dengan alat ini, jadi tepat guna,” kata Tony.
Sementara itu, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP, M. Sjarief Widjaja, mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan teknologi alat pertanian, teknologi alat perikanan tertinggal jauh. Di sektor pertanian sudah ada teknologi yang namanya Alsintan atau Alat Mesin Pertanian. Mereka sudah bekerja sama dengan industri, sehingga dapat diproduksi massal. Lalu di setiap kecamatan ada kios Alsintan. Kios ini berjualan traktor, pupuk, benih, dan cangkul. Sedangkan di sektor perikanan belum ada toko yang khusus menjual alat mesin perikanan atau Alsinkan. “Toko yang jual alat perikanan tidak pernah ketemu,” ujarnya.
Karena itu, Sjarief melanjutkan, saat ini BRSDM KKP sedang menginvestarisasi berbagai teknologi di bidang perikanan yang sudah dihasilkan, dan akan mendorong hilirisasi. Misalnya, LRMPHP di Bantul sedang didorong untuk menjadi pabrik besar. “Kumpulkan semua ide, dan saya bikin roadmap untuk peneliti. Misalnya apa yang belum bisa dihasilkan di dalam negeri, kita hasilkan,” ia mengungkapkan.
Diakui Sjarief, peralatan perikanan diperparah dengan belum adanya peralatan after sales-nya. Misalnya, selama ini mesin kapal nelayan yang rusak hanya dibetulkan di bengkel motor. Belum ada bengkel yang khusus untuk memperbaiki mesin kapal nelayan. Seharusnya ada adopsi teknologi dengan hilirisasi. “Jadi kita harus banyak pabrik. Pabrik keramba jaring apung, kicir, perahu motor tempel,” ucap Sjarief.
Selain itu, Sjarief menerangkan, BRSDM KKP juga akan fokus pada jaringan perbengkelannya. Karena itu, target setelah inventarisasi hasil inovasi adalah fokus kepada distribusi. Misalnya ada pabrik jaring menangkap ikan di wilayah A, pabrik apung ada di Wilayah B. “Sehingga, pemerintah akan mudah merumuskan suatu kebijakan, karena mapping-nya sudah jelas,” ujarnya.
Sujud Dwi Prastito