.jpg)
.jpg)
1.jpg)
Pemilu menguras energi para petugas penyelenggara pemilu. Tak sedikit yang mengalami sakit, bahkan meninggal dunia. BPPT tawarkan opsi e-voting. KPU lebih memilih e-counting.
GATRAreview.com - Nardi antusias saat ditawari menjadi saksi dari partai politik (parpol) untuk mengawasi proses pemungutan suara pada pemilu, 17 April lalu. Pria berusia 44 tahun itu diberi tugas sebagai saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 11 Pedukuhan Singkar Satu, Kelurahan Wareng, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Meski hanya diberi upah Rp250.000 sebagai saksi, Nardi menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab.
Di hari pencoblosan, Nardi terus memantau proses pemungutan suara. Ia tak beranjak dari TPS, mulai dari pendaftaran pemilih dibuka hingga perhitungan suara selesai. Total ia bekerja selama 19 jam. Usai menjalankan tugas, kondisi kesehatannya tiba-tiba merosot drastis lantaran kelelahan. Sempat beberapa jam istirahat, kondisinya tak juga pulih. Napasnya sering sesak. “Saya sudah periksa ke dokter, tapi sampai sekarang dada saya masih terasa sesak,” ujar Nardi kepada GATRA.
Pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang dilakukan bersamaan pada Pemilu 2019 telah menguras energi para petugas penyelenggara pemilu. Tak sedikit yang mengalami sakit, bahkan meninggal dunia. Sampai Selasa sore kemarin, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut ada 331 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal. Jumlah petugas KPPS yang sakit lebih banyak lagi, 2.232 orang.
Angka itu belum termasuk petugas kepolisian yang meninggal saat menjalankan tugas mengamankan pelaksanaan pemilu. “Sampai hari ini, anggota kami yang gugur 22 orang, lima orang karena sakit, 11 orang karena kelelahan yang sangat, dan enam orang kecelakaan,” kata Karopenmas Divisi humas Polri, Brigjen. Pol. Dedi Prasetyo di kantor Ombudsman, Jakarta Selasa pekan ini.
Karena banyak jatuh korban dari petugas KPPS, KPU menjadi sorotan banyak pihak. Hal ini disadari betul oleh KPU. “Kita sejauh ini sudah banyak diprotes oleh banyak orang karena timbul korban jiwa yang cukup banyak,” kata Ketua KPU Arif Budiman kepada GATRA. Muncul desakan agar pelaksanaan pemilu dievaluasi. “ Itu mungkin menjadi evaluasi utamanya, namun saya tidak mau berbicara banyak terkait evaluasi karena saat ini masih dalam tahap rekapitulasi,” Arif menambahkan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengatakan banyaknya anggota KPPS yang meninggal dalam menjalankan tugas akan menjadi salah satu materi evaluasi pemilu. Termasuk mengevaluasi apakah pelaksanaan pilpres dan pileg perlu dilakukan terpisah. Menurut Tjahjo evaluasi baru akan dilakukan setelah seluruh proses tahapan pemilu selesai. “Paling tidak sebisa mungkin awal tahun depan (2019), untuk persiapan (pemilu) 2024 mendatang,” ucap politisi PDI Perjuangan itu kepada GATRA.
Tjahjo mengungkapkan bahwa dalam evaluasi nanti, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan menawarkan usulan opsi pemilu menggunakan metode electronic voting (e-voting). Sebetulnya, lanjut Tjahjo usulan penggunaan e-voting pernah muncul dalam pembahasan Undang-Undang (UU) Pemilu pada 2015 lalu. Namun tidak diakomodir di UU Pemilu karena pertimbangan KPU yang belum siap untuk melaksanakan e-voting. “Untuk pemilu lima tahun kedepan, pemerintah melalui Kemendagri akan mencoba mengusulkan kembali penggunaan sistem e-voting,” terangnya.
E-voting adalah metode pemungutan suara dan perhitungan suara dalam proses pemilu dengan menggunakan perangkat elektronik. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah lama mengembangkan mesin peranti e-voting. Bahkan, BPPT telah menerapkan e-voting hasil pengembangannya tersebut pada pelaksanaan pemilihan kepala dusun di Kabupaten Jembrana, Bali, 2009 silam. “Jembrana bisa dikatakan etalase BPPT dalam pengembangan IT (Information Technology), termasuk e-KTP dan e-voting,” kata Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT, Andrari Grahitandaru kepada Thea Fathanah Arbar dari GATRA
Menurut saya Indonesia lebih tepat menggunakan e-counting ketimbang e-voting
--Arif Budiman
Pemilihan kepala dusun menjadi pilot project e-voting karena pelaksanaannya tidak perlu diatur melalui regulasi. Sukses dengan e-voting pemilihan kepala dusun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana ingin e-voting juga dapat diterapkan untuk pemilihan kepala desa (pilkades). Namun keingginan tadi terhambat adanya Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah (Pemda). Terutama pada Pasal 88 yang menyebut bahwa pemberian suara untuk pilkada hanya dapat dilakukan dengan cara mencoblos surat suara.
Pada 2010, I gede Winasa yang saat itu menjabat Bupati Jembrana mengajukan uji materi Pasal 88 UU Pemda ke Mahkamah Kontitusi (MK). Ia meminta agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan metode e-voting diakomodir dalam UU Pemda. Hasilnya, uji materi dikabulkan sebagian. Metode e-voting dapat dipergunakan dengan sejumlah syarat. Diantaranya, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi.
Putusan MK ini menjadi rujukan sejumlah daerah melakukan e-voting pilkades. Yang pertamakali menerapkan e-voting pilkades adalah desa-desa di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sampai saat ini, total ada 981 pilkades yang menerapkan metode e-voting. BPPT mendorong e-voting dapat dilaksanakan untuk pemilu. “Sejak 2010, setiap tahun kita selalu mengadakan dialog nasional menuju pemilu elektronik di Indonesia,” kata Andrari.
Andrari menerangkan bahwa e-voting sudah diterapkan pada pilpres dan pileg di sejumlah negara. Misalnya India yang telah melakukan uji coba e-voting sejak 1989 di beberapa wilayah pemilihan. Selanjutnya, e-voting secara nasional mulai diterapkan pada pemilu 2014. “Saya pernah studi banding terkait e-voting ke India, sistem mereka online. Tapi masyarakat percaya, dan tidak pernah ribut,” katanya.
Berbeda dengan BPPT yang mendorong penggunaan metode e-voting, KPU justru menawarkan opsi e-counting. “Menurut saya Indonesia lebih tepat menggunakan e-counting ketimbang e-voting,” kata Ketua KPU Arif Budiman. E-counting adalah pemilu dengan proses pemungutan suara secara manual seperti saat ini, yakni mencoblos surat suara. Namun, penghitungan suaranya menggunakan mesin. Surat suara yang sudah dicoblos akan dipindai menggunakan mesin untuk dihitung.
E-voting adalah metode pemungutan suara dan perhitungan suara dalam proses pemilu dengan menggunakan perangkat elektronik.
Arif menjelaskan, penerapan e-voting akan menemui jalan yang cukup terjal. Cakupan wilayah Indonesia sangat luas, ada 34 provinsi. “Coba bayangkan berapa banyak alat yang harus disiapkan untuk e-voting,” katanya. Perlu membangun infrastruktur jaringan listrik dan internet untuk mendukung e-voting. “Yang jadi masalah, banyak wilayah di pedalaman Indonesia belum terjamah listrik dan internet,” Arif menambahkan.
Sementara itu, mantan ketua MK, Mahfud MD mengatakan bahwa penerapan e-voting ataupun e-counting dapat diterapkan dalam Pemilu di Indonesia. Namu penerapannya harus dilakukan secara bertahap. Sebab belum semua daerah siap menerapkannya. “Bali mungkin siap, mungkin di Jakarta sudah siap secara literasi. Karena itu bagus,” katanya. Cuma persoalannya di Indonesia itu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat, kepada programmer IT, masih rendah. “Nanti kalau ada orang yang ndak percaya, ndak milih (e-voting ataupun e-counting) itu," ucap Mahfud kepada Novrizaldi dari GATRA.
Menurut pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Firman Noor, penggunakan teknologi dalam pemilu dapat memangkas waktu dalam perhitungan suara. Saat ini KPU butuh waktu hingga 35 hari untuk mencapai final hasil perhitungan suara. Dengan e-voting ataupun e-counting untuk melakukan perhitungan suara, tak butuh waktu lama. “Jadi ini opsi yang harus dipertimbangkan saya kira,” kata Firman kepada Mahmuda Attar Hussein dari GATRA.
Firman juga memahami jika ada yang keberatan dengan penerapatan e-voting ataupun e-counting. Dan lebih memililih pemilu dengan metode konvensional atau pencoblosan surat suara dan perhitungan suara manual. Bahkan beberapa negara yang demokrasinya sudah majupun ada yang masih menggunakan pemilu dengan motode konvensional, misalnya Inggris dan Perancis. “Mungkin dianggap rawan manipulasi. Mereka ingin memastikan betul bahwa suara yang masuk itu memang suara dari orang itu,” ujarnya.
Bagaimana dengan lembaga survei yang selama ini melakukan quick count hasil pemilu, Direktur Riset Charta Politika, Muslimin mengatakan bahwa e-voting ataupun e-counting tidak akan mematikan lembaga survey. Sebab, lembaga riset pun akan ikut berkembang dengan melakukan survey berbasis teknologi. Meski ada kemungkinan bahwa KPU bisa melakukan perhitungan suara menggunakan teknologi, quick count dari lembaga survey tetap dibutuhkan. “Jenis apapun, e-voting, e-counting atau apalah yang lain, sebenarnya tidak punya efek terhadap lembaga survey, karena riset– riset tetap akan dibutuhkan,” ujarnya kepada Dwi reka barokah dari GATRA..
Sujud Dwipratisto, Riana Astuti dan Wanto