
Yogyakarta, gatra.net - Indonesia kaya potensi wisata. Namun selama ini potensi itu tetap jadi potensi, tak maksimal dikapitalisasi, bahkan kurang mampu menjadi aset dan kekayaan bangsa kita. Kebijakan publik di bidang pariwisata mutlak diperlukan.
Hal itu diungkapkan , pakar kebijakan publik sekaligus staf ahli Menteri Pariwisata Riant Nugroho saat meluncurkan buku karyanya berjudul "Kebijakan Pariwisata: Sebuah Pengantar untuk Negara Berkembang".
Peluncuran dan bedah buku ini digelar di kantor Badan Otorita Borobudur, Kota Yogyakarta, Kamis (9/5). Riant mengungkapkan, salah satu ciri negara-negara maju, sejahtera, dan terhormat adalah negara dengan wisatawan asingnya sangat besar.
"Tapi di sini kita menyebutnya wisatawan asing. Mereka dianggap alien. Dari pilihan kata saja, ini sudah mempengaruhi persepsi kita," ujar Riant.
Padahal, menurut Riant, berbeda daripada wisatawan domestik yang serba menerima, wisatawan mancanegara lebih menaruh perhatian pada destinasi wisata. Sebab wisatawan mancanegara ingin merasakan sesuatu yang berbeda bahkan belajar dari tujuan wisata mereka.
"Pariwisata yang sejati adaah tentang bagaimana warga suatu bangsa belajar dari bangsa lain yang lebih hebat," kata Riant.
Riant mencontohkan pengalaman penulis Elizabet Gilbert yang putus cinta lalu pergi ke Bali. Dia lantas menulis buku Eat, Pray, Love tentang pengalaman diri dan batinnya menemukan hal baru di Pulau Dewata itu.
"Pariwisata yang sejati adalah tentang adanya kesenjangan kultural atau peradaban antar-bangsa," ujarnya. "Wisata bukan hanya sekadar tempat, tapi rohnya. Itu kenapa Bali sepeti berbeda."
Namun, selama ini potensi kultural Indonesia tak dioptimalkan. "Potensi luar biasa itu kita jadikan potensi lagi. Tak pernah dikapitalisasi, dijadikan aset," kata dia.
Untuk itu, Riant menjabarkan pentingnya kebijakan publik pariwisata. "Potensi pariwsata harus diubah menjadi peluang, lalu jadi aset atau produk, menjadi kekayaan dan kesejahteraan, hingga keunggulan dan kemenangan suatu bangsa. Ini harus direncanakan dan menjadi tanggungjawab negara, bahkan kehormatan negara pada rakyatnya," tuturnya.
Kebijakan ini melalui serangkaian tahap pembelajaran pariwisata yakni atraksi, akses, dan amenitas di objek wisata, lantas adanya layanan wisata atau hospitality.
Riant mencontohkan secara sederhana pengalamannya di negara-negara manca,terutama Eropa, yang memperhatikan setiap sudut kotanya sehingga wisatawan amat mudah mengakses dan foto-foto. "Setiap tempat jadi destinasi wisata," ujarnya.
Kondisi ini berbeda dengan Indonesia. Tetenger atau landmark dan ikon-ikon khas di duatu daerah, seperti patung Arjuna Wiwaha di Jakarta, sulit diakses wisatawan, bahkan untuk sedakar berswafoto atau selfie.
Jika hal-hal ini telah dipenuhi, maka pariwiata dapat berkembang menjadi industri pariwisata bahkan penggerak ekonomi suatu negara.
"Pariwisata menjadi penggerak suatu negara, bahkan pada tahap selanjutnya bagaimana merebut wisatawan negara lain sehingga pariwisata menjadi suatu kompetisi. Ini tak terbayangkan sebelumnya," kata dia.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi menggarisbawahi kekhasan kultural yang menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata. "Positioningnya lebih kuat," kata dia di acara ini.
Untuk itu, pemkot terus membenahi destinasi penting Yogyakarta termasuk sarana pendukungnya seperti di Malioboro sebagai kawasan vital sekaligus kaya cagar budaya.
Sayangnya, dampak pariwisata, terutama sektor ekonomi, belum amat dirasakan semua warga. "Tingkat kunjungan wisata tinggi, tapi kemiskinan masih ada. Belum mampu mengangkat pendapatan. Akses masyarakat setempat masih kurang," kata dia.
Heroe mengatakan pemkot terus mengkaji hal ini. Sebab Kota Yogyakarta minim sumber daya alam dan produk ekonomi lain seperti pertanian.
"Bagaimana ini kami benahi, sehingga kunjungan wisatawan dapat meningkatkan pendapat masyarakat. Pariwisata kami dorong jadi kekuatan industri," ujarnya.