
Jakarta, gatra.net - Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. I Gde Panjta Astawa, menilai ancaman aksi people power dari kubu 02 Prabowo-Sandi merupakan sikap tidak siap menang dan kalah.
"Ya ini sebenarnya menurut saya tidak siap kalah, tidak konsisten dengan statement sebelumnya bahwa siap menang siap kalah. Berarti tidak siap," katanya kepada gatra.net, Rabu (1/5).
Terlebih, lanjut Panjta, konstitusi memberikan wadah atau sarana untuk melakukan sejumlah upaya jika memang pemilu atau pilpres tidak sesuai dengan ketentuan, khususnya tudingan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif yang terus digaungkan kubu tersebut.
"Saya baca di medsos akan menggelar people power, ini kan tidak benar. Memang sekarang ini masyarakat kita ini masyarakat yang mudah apa terprovokasi diajak untuk melakukan people power. Padahal saluran untuk menyampaikan itu kan sudah jelas, kecuali kalau terumbat," ujarnya.
Menurutnya, demokrasi itu tidak menebar ancaman dan tidak memberikan peluang tindakan-tindakan anarkistis. Dengan demikian, aksi people power kontraproduktif dalam berdemokrasi.
"Kalau itu dilakukan, itu justru akan menjadi satu tindakan yang kontraproduktif. Yang pada akhirnya akan membunuh demokrasi itu sendiri," ujarnya.
Jadi, lanjut Panjta, sikap-sikap yang demikian itu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bahwa kalah atau menang itu satu hal yang wajar dalam satu kontestasi termasuk pilpres.
"Jadi harus siap kalah dan menang, enggak mungkin dua-duanya menang atau kalah. Harus menunjukkan sikap kedewasaan," ujarnya.
Panjta melanjutkan, jika nantinya kubu tertentu tidak puas dengan keputusan KPU tentang hasil pemilu baik itu pilpres dan pileg karena mengklaim terjadi kecurangan misalnya, bisa menempuh jalur konstitusional, bukan melakukan people power.
"Ternyata salah satu paslon itu merasa dirugikan atau menduga berdasarkan bukti-bukti yang mereka punya terjadi praktik kecurangan atau apapun, kan ada mekanisme yang mengatur," ujarnya.
Menurutnya, kecurangan juga tergantung jenisnya, karena bisa masalah administratif atau pelanggaran hukum pemilu. "Kalau bersifat administratif bisa dilaporkan ke Bawaslu, bila perlu ke DKPP," katanya.
Panjta melanjutkan, kalau misalnya salah satu paslon memiliki bukti-bukti bahwa terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif, bisa memperkarakan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Itu jalur-jalur yang sudah jelas ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan kita. Jangan mengada-ada, jangan emosional. Siapa pun itu, tidak boleh. Karena itu tidak memberikan satu edukasi kepada publik, kepada masyarakat kita umumnya," kata dia.
Sementara itu, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, menyampaikan, bahwa pihaknya hanya akan melakukan langkah-langkah konstitusional.
"Saya rasa, saya ditugaskan berungkali bahwa seluruh langkah yang diambil oleh teman-teman di BPN, adalah langkah-langkah konstitusional," katanya.