
Jakarta , gatra.net - Vonis pengadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2018 berkisar dua tahun delapan bulan. Vonis ringan ini menjadi cerminan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang masih setengah hati.
"Rata-rata putusan pengadilan kepada koruptor hanya dua tahun delapan bulan. Ada peningkatan tiga bulan dari 2017, tetapi tidak signifikan," ungkap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (28/4).
ICW mengumpulkan data putusan kasus korupsi dari situs resmi Mahkamah Agung (MA), kemudian Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri serta informasi putusan banding beberapa Pengadilan Tinggi pada 2018. Kemudian dilengkapi dengan data sekunder dari media massa.
Rata-rata vonis di tingkat Pengadilan Negeri yaitu dua tahun tiga bulan. Pada tingkat Pengadilan Tinggi selama dua tahun delapan bulan dan paling tinggi di tingkat MA yaitu lima tahun sembilan bulan.
Dari 918 terdakwa korupsi di tahun 2018, sebanyak 79% divonis dengan hukuman ringan (1-4 tahun), kemudian 15,4% hukuman sedang (4-10 tahun), dan hanya sembilan terdakwa atau 0,77% menerima hukuman berat (lebih dari 10 tahun).
"Dari 918 terdakwa putusan ringan, 749 ada di Pengadilan Negeri, 159 di tingkat Pengadilan Tinggi, dan sepuluh di Mahkamah Agung," kata Lalola.
ICW menganggap pengadilan belum memutus tindak pidana korupsi dengan maskimal. "Vonis hakim dalam perkara korupsi masih rendah. Vonis pengadilan ringan karena tuntutan JPU juga tergolong rendah," pungkasnya Lalola.