
Sidogiri, gatra.net -- Pondok pesantren Sidogiri sukses berdikari membangun ekonomi umat. Karena tidak ingin menerima dana syubhat. Kini berusaha memakmurkan desa sekitar.
Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang digelar Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KPPS) Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Usaha Gabungan Terpadu (UGT) Sidogiri, pada Februari 2018 lalu di Pasuruan, Jawa Timur, itu memang jauh dan kesan glamor.
Para pengunjung rata-rata mengenakan sarung, berkopiah dan berbaju batik. Bila tidak melihat layar besar yang menjelaskan ini rapat akhir tahunan KPPS BMT UGT Sidogiri, orang bisa mengira ini acara forum pengajian biasa.
Padahal ini adalah RAT salah satu koperasi terkaya di Indonesia. Dari segi aset, BMT UGT Sidogiri memang sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah). Kelasnya sudah perusahaan besar.
Di RAT itu, KH Mahmud Ali Zain, 63 tahun, mengenakan sarung warna coklat hitam dan batik bermotif dominan merah, tampil menyampaikan laporan tahunan. Laporannya bikin tercengang, karena orang bisa menyangka itu laporan tahunan perusahaan konglomerat.
Total aset BMT UGT Sidogiri untuk tahun buku 2017 misalnya mencapai Rp 2,4 triliun. .Jumlah cabang BMT UGT Sidogiri mencapai 300 lebih, tersebar di speuluh propinsi. Satu cabang bahkan berlokasi di Malaysia.
Pembayaran zakat pada 2016 mencapai Rp 8,5 milyar. Jumlah anggota koperasi mencapai 16.647 orang, bertambah 637 orang dibandingkan tahun 2016.
Lalu ada juga penyerahan dana hibah ke pesantren Sidogiri mencapai Rp 3,4 miliar per tahun. Belakangan, dari informasi yang dikumpulkan Gatra, dana hibah Rp 3,4 miliar per tahun inilah yang membuat biaya mondok di Sidogiri terbilang murah, hingga tetap bisa terjangkau keluarga miskin.
Tiap santri Sidogiri hanya perlu membayar Rp 100 ribu per bulan, alias Rp 1,2 juta per tahun. Biaya itu sudah mencakup biaya pendidikan, kamar, listrik, air, dan fasilitas berobat gratis di klinik pesantren (tidak termasuk makan dan laundry).
Di RAT itu KH Mahmud Zain lalu menyampaikan target BMT UGT Sidogiri pada 2018, yaitu memiliki aset sampai Rp 5 triliun. "Untuk itu diperlukan kerja keras dan konsolidasi dari seluruh pengurus dan anggota," katanya.
***
Bila dilihat semata dari skala bisnisnya, pesantren Sidogiri memang sudah layak disebut konglomerasi. Pesantren salaf yang memiliki sekitar 13.000 santri ini memiliki banyak lini bisnis.
Saat ini badan usaha Sidogiri memiliki lima lini bisnis utama. Kelima lini itu adalah Koperasi Pesantren (Kopontren), Koperasi Agro, BMT Maslahah, BMT UGT Sidogiri, dan BPR Syariah. Kelima lini usaha itu tiap-tiapnya berbadan hukum sendiri.
Dari lima divisi bisnis inilah lalu muncul berbagai "anak usaha", antara lain bisnis software, bisnis agro, bisnis kuliner, usaha air mineral dengan brand "Santri", bisnis apartemen mahasiswa, percetakan, hingga rumah sakit.
Namun dari lima lini itu, yang terkenal memang tiga, yaitu Kopontren, BMT Maslahah, dan BMT UGT Sidogiri. BMT Maslahah, pada Rapat Akhir Tahun (RAT) 2017 lalu misalnya mencatatkan aset sampai Rp 538 miliar.
Kopontren lebih besar lagi. Koperasi santri Sidogiri ini sukses membangun minimarket syariah dengan nama toko "Basmalah". Saat ini minimarket Basmalah sudah memiliki 126 toko, tersebar terutama di Jawa Timur dan Madura. Industri air mineral "Santri" juga berada di bawah Kopontren.
Sedang BMT UGT Sidogiri, yang memiliki aset paling besar, bisa dibilang "melanglang buana" ke berbagai sektor pembiayaan syariah. Ini sesuai dengan nama UGT (Usaha Gabungan Terpadu) yang ia sandang. BMT UGT Sidogiri misalnya juga terjun ke bisnis properti, mendirikan perumahan islami Green Giri Village di Pasuruan, bekerja sama dengan sebuah developer lokal.
Ibarat konglomerasi, kelima badan usaha itulah --beserta anak usahanya masing-masing-- yang membuat pesantren tradisional ini sukses menjadi simbol gerakan ekonomi umat. Bila omzet kelima lini usaha itu ditotal, angkanya akan mencapai puluhan triliun.
Untuk apa keuntungan miliaran itu? Tentu saja kembali ke Pesantren Sidogiri sebagai "induk perusahaan". Biaya mondok yang sangat murah itu salah satu bukti.
***
Pesantren Sidogiri adalah salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Pesantren ini didirikan 200 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI, tepatnya pada 1745. Pendirinya, Sayyid Sulaiman, adalah warga Cirebon yang juga cicit dari Sunan Gunung Jati. Menurut cerita, Sayyid Sulaiman datang ke Sidogiri, membuka hutan, lalu bermukim dan akhirnya mendirikan pesantren.
Kesuksesan Sidogiri untuk mandiri secara ekonomi memang tidak tiba-tiba. Wartawan Gatra Abdul Hady JM sempat mengunjungi Sidogiri tahun lalu dan mendapat banyak cerita dari Mahmud dan pengurus lain BMT UGT.
Menurut Mahmud, Sidogiri mulai mendirikan koperasi sejak tahun 1961. Waktu itu BMT Maslahah yang pertama kali dibentuk. Mahmud adalah mantan pengurus BMT Maslahah. Ia alumnus pesantren Sidogiri tahun 1978 dan juga dipungut menantu oleh pengasuh pondok.
Lalu pada tahun 2000, mereka mendirikan BMT baru lagi yang diberi nama BMT UGT. Waktu itu modal awalnya Rp 180 juta. Tidak disangka, BMT UGT ini yang justru paling sukses.
Tidak ada resep khusus di balik cerita sukses BMT Sidogiri. Mereka hanya mencari peluang yang ada lalu mulai berbisnis. "Kami cuma modal nekat," kata Mahmud.
Yang lebih menarik adalah motivasi di balik niat berbisnis itu. Motivasi itu ternyata sederhana, yaitu agar pesantren bersih dari aliran dana syubhat (tidak jelas status halal haramnya), apalagi dana haram. Pasalnya ada keyakinan bahwa ilmu yang dipelajari di pesantren akan sulit bermanfaat bila mendapat aliran dana syubhat.
Saat ini memang sudah lazim bila pesantren mendapat bantuan dana, baik dari pemerintah, pengusaha, atau bahkan politisi. Tapi Sidogiri tidak menginginkan dana yang asal-usulnya kadang tidak jelas itu. Maka itu mereka memulai berbisnis sendiri. "Pesantren seharusnya bisa mandiri, jangan menggantungkan dana ke pemerintah," kata Mahmud.
Dengan prinsip seperti itu, tidak heran bila Sidogiri sering menolak bantuan dana. Mereka misalnya bersikap keras atas manuver Hary Tanoesoedibdjeo, pendiri Partai Perindo, yang sempat mendirikan Yayasan Peduli Pesantren (YPP) pada 2016 lalu dengan tujuan membantu pesantren.
Sidogiri bahkan juga menolak Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Meski motivasinya lebih praktis, yaitu karena pembiayaan dari badan usaha sudah lebih dari mencukupi.
***
Efek kesuksesan ekonomi pesantren Sidogiri tidak hanya bersifat ke dalam, melainkan ke luar. Sejak 2014 Sidogiri meluncurkan program Qoryah Thayyibah Sidogiri (QTS), yang secara harfiah berarti "desa sejahtera".
Program ini dikelola oleh Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS). Dana program ini terutama berasal dari berbagai unit usaha di Sidogiri. Mahmud, ketua pengurus BMT UGT Sidogiri, juga menjadi Direktur Program QTS.
Pada 2014, program QTS untuk mewujudkan "desa sejahtera" ini adalah bedah rumah, alias merenovasi rumah warga desa di sekitar pesantren.
Secara administratif, Pesantren Sidogiri berlokasi di desa Sidogiri, kecamatan Kraton, kabupaten Pasuruan. Untuk program bedah rumah, QTS menyasar empat desa yang masih berada di wilayah kecamatan Kraton. Total, ada 24 rumah yang dibedah. Dana renovasi mencapai Rp 25 juta per rumah. Sebanyak Rp 15 juta dari program QTS, sedang Rp 10 juta berasal dari Pemkab Pasuruan.
Menurut Mahmud, rumah yang dibedah itu dimiliki oleh warga miskin atau para janda yang sudah tidak mampu lagi merenovasi rumahnya, meski kondisinya tidak layak ditinggali. "Mereka layak menerima zakat," katannya.
Lalu pada 2015, program Qoryah Thoyyibah ini melebar ke lima desa di kecamatan Kraton. Programnya juga makin bervariasi, tidak hanya bedah rumah, tapi juga sudah menyasar ke pedagang. Beberapa lapak pedagang di sekitar pesantren direnovasi, dibuatkan bangunan yang lebih permanen, dan dipusatkan di satu lokasi hingga menjadi semacam pusat kuliner.
Pihak pesantren juga hanya memungut biaya retribusi ala kadarnya, yaitu Rp 15 ribu per perdagang per minggu.
Belakangan, program Qoryah Thoyyibah ini memang makin menjadi program pemberdayaan ekonomi umat, dengan desa-desa di sekitar Sidogiri sebagai targetnya.
Untuk mengurangi pengangguran di kalangan pemuda desa, misalnya diadakan program usaha jasa cuci motor. Pihak pesantren menjadi penyedia alat-alat cuci motor, yang kemudian dipinjamkan kepada para pemuda desa untuk memulai usaha.
Bagi desa-desa di sekitar pesantren Sidogiri, program Qoryah Thoyyibah ini jelas membantu. Ini juga salah satu wujud keadilan ekonomi dalam Islam, bahwa kekayaan sebaiknya terdistribusi dan bisa bermanfaat bagi banyak pihak, tidak terkonsentrasi di satu kelompok.
Ini juga yang agak membedakan Sidogiri dengan pesantren lainnya dalam hal kemandirian ekonomi. Saat ini baru sedikit pesantren yang bisa mandiri secara ekonomi. Dari yang sedikit itu, sebagian besar kekuatan ekonomi itu masih bersifat ke dalam, alias masih sebatas menghidupi komunitas pesantren.
Koperasi Sidogiri sebaliknya sudah selangkah lebih jauh lagi dengan berdampak ke luar, yaitu pada masyarakat sekitar. Empat desa yang menjadi target awal program Qoryah Thoyyibah kini menjadi semacam desa binaan dari aspek pemberdayaan ekonomi.
Keberhasilan program Qoryah Thoyyibah Sidogiri akhirnya justru membuat program ini dikonsolidasikan lagi hingga bisa berdampak lebih signifikan.
Sejak 2017 lalu, Sidogiri sudah mendirikan yayasan khusus bernama Yayasan Sosial UGT Peduli (Yasudu). Yayasan inilah yang membawahi program Qoryah Thoyyibah sekaligus menjadi ujung tombak kegiatan sosial maupun pemberdayaan ekonomi umat.
Dengan pola kegiatan seperti itu, tidak heran bila pesantren Sidogiri menjadi semcam penggerak ekonomi desa. Menurut Mahmud, ibarat obat nyamuk bakar, maka dari Sidogiri, efek pemberdayaan ekonomi harus melebar ke desa-desa di sekitar Sidogiri, lalu ke kecamatan Kraton, ke kabupaten Pasuruan dan seterusnya.
Melihat kesuksesan Sidogiri membangun ekonomi secara mandiri, apalagi jadi kaya-raya, wajar bila banyak yang menyangka pesantren ini adalah pesantren modern.
Tapi itu pandangan keliru. Sidogiri adalah pesantren tradisional, pesantren salaf, dengan para santri yang masih dididik untuk mempelajari kitab kuning. Ia tidak jauh beda dari pesantren tradisional lain di desa-desa pelosok di Pulau Jawa. Hanya yang membedakan, kaum sarungan Sidogiri sukses membangun ekonomi umat selevel konglomerat.
Basfin Siregar
(Edisi khusus Lebaran Gatra, Nomor 33-34 Tahun XXIV, 14-27 Juni 2018)